Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta
dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu
seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan.
Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro
menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya
menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.
Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu
Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut
putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di
tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah
muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya,
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa
yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh
luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada
siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro
ditangkap pada 1830
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di
Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng
Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu
kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC28 Maret 1830
Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro.
Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu
juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal
Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di
Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan
penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke
Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal
Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi
Selatan. Juli 2008 Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu
oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan
peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam
penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam
asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon
atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di
medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap
eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs.
R. H. Mulyono.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri,
yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa,
Sulawesi & Maluku.
Latar belakang
Perang Diponegoro (
Inggris:
The Java War,
Belanda:
De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di
Jawa,
Hindia Belanda (sekarang
Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan
Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama
Pangeran Diponegoro.
Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik
korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli
sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut.
Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini
melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai
Perang Jawa.
Setelah kekalahannya dalam
Perang Napoleon
di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi
berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai
pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu,
mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan
keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik
rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai
berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di
antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya,
Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh
Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda
dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat
keraton.
Pada pertengahan bulan
Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari
Yogyakarta ke
Magelang lewat
Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo.
Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur
Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda.
Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang
melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada
20 Juli 1825
mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan
pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa
Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran
Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang
terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung,
yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan
Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan
berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat
pribumi bersatu dalam semangat “
Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan
Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu
Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.
PERANG DIPONEGORO
PERANG JAWA DISEBABKAN OLEH FAKTOR SOSIOBUDAYA.
LATAR BELAKANG PERANG:
Perang Diponegoro atau dalam bahasa Belanda dikenali dengan istilah “De Java Qorlog”
merupakan suatu perang yang besar. Perang ini berlangsung selama lima
tahun iaitu antara tahun 1825 hingga 1830 yang bernama Pangeran
Diponegoro.Dalam perang ini juga, Pangeran Dipornegoro dibantu oleh
pahlawan-pahlawan hebat yang lain seperti pahlawan Mangkubumi, Kyai
Modjo dan Sentot Prawirodirdjo.
[3]
Perang ini juga akhirnya telah melibatkan pelbagai korban yang bukan
sahaja harta-benda bahkan juga nyawa manusia. Berdasarkan
dokumen-dokumen Belanda, perang tersebut telah mengorbankan 200 000
nyawa masyarakat peribumi manakala 8000 nyawa terkorban di pihak
Belanda. Perang ini dikenali sebagai “Perang Jawa” kerana peperangan
ini melibatkan hampir seluruh wilayah Jawa. Maka dengan itu, istilah
“Perang Jawa” diaplikasikan.
3.0 FAKTOR-FAKTOR TERCETUSNYA PERANG JAWA:
Terdapat beberapa faktor tertentu yang menyebabkan berlakunya Perang
Jawa. Perang ini dilihat bermula daripada masalah ataupun konflik
dalaman Keraton Yogyakarta. Ketegangan timbul ketika Sultan
Hamengkubuwono II memecat dan menggeser pegawai keraton dan
bupati-bupati yang dahiulu dipilih olehSultan Hamengkubuwono
I.
[4]
Sultan Hamengkubuwono II menginginkan pemerintahan yang kuat dan
dibantu oleh orang-orang yang dekat dengan beliau. Justeru itu, beliau
telah melantik pebantu-pebantunya dari kalangan menantunya. Contohnya,
Raden Adipati Danu Rejo II sebagai patih, Raden Temenggung Sumodinigerat
sebagai Wedana Lebet dan Raden Ronggo Prawiroderjo III sebagai bupati
Wedana Monconegoro Timur.
[5]
Hal ini menyebabkan banyak pegawai yang berpengalaman sebelum ini telah
dipecat. Perkara ini menyebabkan Kanjeng Ratu Ageng telah menasihati
Sultan terhadap tindakannnya. Namun begitu, nasihatnya tidak diendahkan
oleh Sultan. Golongan-golongan ini dilihat seringkali disisihkan dan
dipinggirkan dalam soal pemerintahan dan pentadbiran. Hal ini secara
tidak langsung membuka peluang kepada pihak Belanda untuk campur tangan
berikutan perpecahan yang berlaku dalam Keraton. Sesungguhnya Belanda
dapat mempertahankan kekuasaannya dan mengembangkan pengaruh serta
kolonialisme dengan cara yang licik sekali dan dengan kemahirannya
mempergunakan konsep politik
“divide and rule” iaitu suatu konsep politik yang mengadu domba bangsa Jawa dengan semboyan “pecah dan perintah”.
[6]
Oleh itu, golongan-golongan yang tersisih ini akhirnya meminta bantuan
kepada Putera Mahkota iaitu ayah Pangeran Dipornegoro. Walau bagaimana
pun, Kanjeng Ratu Ageng akhirnya bersama cucunya menigggalkan Keraton
dan menetap di desa Tegalrejo. Namun begittu, konflik masih terus
berlaku terutamanya apabila Dipornegoro sudah besar. Konflik ini
berlaku sekitar tahun 1792. Konflik ini melibatkan Sultan
Hamengkubuwono II dan Putra Mahkota iaitu Pangeran Adipati Amangkunagoro
serta akhirnya melibatkan Diponegoro. Hal ini bermula gara-gara
keputusan Residen Baron de Salis yang telah bersetuju mengangkat
Pangeran Menol yang masih berusia tiga tahun sebagai Sultan
Hamengkubuwono V untuk menggantikkan Sultan Hamengkubuwono IV yang
meninggal dunia secara tiba-tiba.
[7]
Hal ini berlaku pada tahun 1822. Perkara ini akhirnya menyebabkan
Diponegoro terasa terhina kerana terpaksa akur dan menghormati serta
menyembah pemimpin yang masih kecil. Menurut tatatertib adat keraton,
setiap pangeran sememangnya diwajibkan agar menyembah sultan dalam
segala upacara atau urusan rasmi. Perkara ini bersesuaian dengan
kepercayaan masyarakat Jawa yang menganggap sultan sebagai penguasa yang
tertinggi yang ditakdirkan Tuhan kerana mendapat wahyu kerajaan.
Disebabkan, Sultan Hemengkubuwono V masih kecil untuk memerintah negara,
maka satu dewan perwalian dibentuk bagi menjalankan pemerintahan.
[8]
Antara anggota dewan itu ialah terdiri daripada Permaisuri Sultan III,
Pangeran Mangku Bumi dan Pangeran Dipornegoro. Walaupun, Pangeran
Dipornegoro merupakan ahli dewan, namun Dipornegoro jarang diajak atau
dilibatkan secara khusus dalam soal pentadbiran dan pemerintahan.
Contohnya, Pangeran Dipornegoro telah menyatakan masalah rakyat
berkenaan isu penyewaan tanah kepada pihak Keraton namun usahanya itu
hanya sia-sia sahaja kerana tidak mendapat sambutan dan layanan yang
baik daripada pihak Keraton.
[9]
Akhirnya, Pangeran Dipornegoro meningggalkan ahli dewan dan jarang
terlibat dalam sebarang usaha pemerintahan dan pentadbiran Keraton lagi.
Walaupun Sultan Hamengkubuwono V diiktiraf sebagai sultan, namun
perkara ini hanya terletak pada gelarannya sahaja tetapi tidak pada
hakikatnya. Hakikatnya, pemerintahan dijalankan oleh Patih Danuredjo.
Patih Danuredjo ini pula merupakan seorang yang mudah dipengaruhi dan
sentiasa akur pada arahan dan perintah Belanda.
Faktor lain yang menyebabkan berlakunya Perang Jawa ialah disebabkan
ketamakan dan kerakusan Belanda di Jawa. Setelah kekalahan Belanda
dalam Perang Napoleon di Eropah, Belanda telah mengalami krisis kewangan
yang sangat serius dan berat. Hal ini berikutan perbelanjaan perang
yang banyak serta kerugian yang besar yang mereka alami setelah kalah
dalam Perang Napoleon.
[10]
Hal ini seterusnya mendorong Belanda untuk menjalankan pelbagai pajakan
di wilayah jajahannya termasuk jugalah di Hindia Belanda. Melalui
dasar baru yang diperkenalkan Belanda ini, orang asing dibolehkan
menyewa tanah masyarakat peribumi tempatan secara meluas. Tanah yang
disewakan ini tidak terbatas pada tanah pertanian sahaja, bahkan jalan
raya juga disewakan untuk diambil hasilnya iaitu dengan menarik pajak
kepada semua barang-barang muatan yang dibawa melalui jalan itu.
[11] Menurut S. Pragg, terdapat 34 jenis pajakan yang harus dibayar oleh rakyat.
[12]
Selain sistem pajakan dan sistem penyewan tanah yang membebankan
rakyat, terdapat beberapa sistem lain yang amalannya kelihatan menyusah
dan menindas rakyat. Misalnya, seperti pengamalan sistem pembayaran
bea. Sistem ini sememangnya memberikan bebanan yang cukup besar dalam
kehidupan masyarakat peribumi. Hal ini kerana orang-orang yang melalui
daerah para bewan
(tolgaarders) harus membayar bea untuk barang-barang yang dibawanya.
[13]
Pada awalnya, jumlah beawan-beawan ini tidaklah sebegitu banyak, namun
begitu setelah melihat perniagaan ini mendatangkan untung yang lumayan
maka jumlah beawan-beawan ini semakin hari semakin meningkat.
Pemerintah Kolonial biasanya menyewakan “daerah bea cukai” kepada
masyarakat Tiong Hua yang terkenal sebagai beawan dengan harga yang
tinggi. Perlaksanaan sistem ini juga kelihatannya mengikis sedikit demi
sedikit sikap perikemanusiaan dalam diri manusia.
[14]
Hal ini dapat dibuktikan, apabila anak-anak kecil yang didukung oleh
ibu mereka juga turut dikenakan bayaran bea. Mereka menganggap
anak-anak kecil ini juga tidak lebih sebagai barang bawaan yang harus
dikenakan cukai. Terdapat juga para pemungut bea yang kejam sehingga
sanggup bertindak di luar batas kesopanan dan kesusilaan sehingga berani
menggeledahi barang-barang dan memeriksa tubuh badan setiap orang yang
melalui kawasan mereka. Selain itu juga, Belanda turut mengamalkan
dasar monopoli yang akhirnya menyeksa dan menindas masyarakat Hindia
Belanda termasuk tanah Jawa.
[15]
Selain itu, antara faktor lain yang menyebabkan berlakunya Perang Jawa
adalah masalah penyewaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta
oleh pemerintah Hindia-Belanda serta juga disebabkan oleh faktor budaya.
Pada masa pemerintahan adiknya iaitu Hamengkubuwono IV, terdapat
banyak golongan bangsawan yang memperoleh harta kekayaan yang banyak
yang akhirnya menyebabkan mereka menjadi kaya secara tanpa disangka.
[16]
Kebanyakan bangsawan ini memperoleh kekayaan yang banyak kesan hasil
penyewaan tanah yang mereka jalankan. Perkara inilah yang menyebabkan
para bangsawan lebih gemar hidup mengamalkan gaya hidup mewah dan kaya
yang diadaptasikan daripada gaya kehidupan pemerintah Belanda. Mereka
iaitu golongan bangsawan ini kelihatannya mula menagung-agungkan nilai
dan norma-norma masyarakat Belanda tetapi sebaliknya meninggalkan nilai
dan norma-norma kehidupan masyarakat Jawa dan Islam. Contohnya,
kebanyakan bangsawan sudah mula gemar menganjurkan pesta-pesta sehingga
larut malam, meminum minuman keras yang memabukkan dan sebagainya.
[17]
Fenomena ini sememangnya tidak disetujui oleh golongan tua kerana
perlakuan dan perbuatan seperti ini “sudah terang lagi bersuluh”
menyalahi adat istiadat Keraton selain upacara seperti ini hanya
membazirkan wang negara. Perkara ini menjadi bertambah rumit dan serius
apabila terdapat bangsawan yang bekerja di bawah Belanda menjalankan
hubungan terlarang dengan gadis keraton secara sewenang-wenangnya.
Sultan sendiri juga yang selau memakai gelaran Saiyidin Panatagama
Khalifatullah dikatakan juga sudah terjerumus ke dalam jurang pengaruh
barat.
[18]
Demikianlah usaha-usaha pihak Belanda untuk melemahkan kekuatan raja
dari dalam iaitu di samping menyingkirkan orang-orang yang dianggap
berbahaya, dimasukkan juga unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya
sememangnya bercanggah dengan kebudayaan masyarakat tempatan. Dalam isu
ini, Diponegoro kelihatannya begitu mengambil berat dan prihatin kerana
beliau tidak mahu tanah airnya dicemari dengan kebudayaan songsang yang
sememangnya bertentangan dengan kebudayaan masyarakat Jawa dan Islam.
Hal ini juga terdorong oleh sifat Diponegoro yang begitu taat dan patuh
pada hukum Islam. Pangeran Diponegoro merupakan seorang ulama (sentri)
yang gemar membaca dan mendalami kitab-kitab yang bercorak agama,
sejarah dan sastera.
[19]
Beliau beranggapan bahawa berkuasanya orang asing terhadap tanah milik
kerajaan iaitu melalui cara penyewaan tanah merupakan petanda atau
alamat jatuhnya tanah Jawa ke tangan orang asing sehingga Jawa harus
dirampas kembali dengan perang sabil. Selanjutnya, perang Jawa juga
meletus disebabkan tindakan Belanda yang menjalankan penutupan jalan ke
Tegalrejo dengan memasang pancang secara sengaja di tanah milik
Diponegoro di Tegalrejo.-
[20]
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda ini adalah bertujuan
untuk pembinaan jalanraya yang baru. Tambahan lagi, aktiviti ini
dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh pemilik tanah. Tindakan
pihak Belanda ini dijalankan melalui perantara arahan dari Pateh
Danurejo IV yang sememangnya terkenal sebagai seorang Pateh yang sangat
taat dan setia kepada kekuasaan pemerintah Belanda.
[21]
Namun begitu, pancang-pancang itu telah dicabut dan dibuang oleh para
pengikut Diponegoro. Pancang-pancang itu pula telah digantikan dengan
tombak-tombak sebagai simbol penentangan atau protes mereka terhadap
tindakan dan sikap pemerintah Belanda. Walaubagaimanapun, Residen
Smissaert yang telah menggantikan Residen Baron de Salis telah
memerintahkan anak buahnya agar pancang-pancang tersebut dipasang
kembali.
[22]
Keadaan menjadi semakin panas apabila pembinaan jalanraya tersebut
turut melibatkan tanah perkuburan nenek-moyang mereka termasuk
Diponegoro.
[23]
Walaupun pelbagai arahan dan amaran supaya kegiatan tersebut
dihentikan, namun pemerintah Belanda masih juga degil dan tersu sahaja
meneruskan aktiviti tersebut. Juruukur dan pembina jalanraya terus
sahaja menjalanakan aktiviti pembinaan jalanraya yang baru tanpa
mengendahkan protes dan tentangan daripada masyarakat tempatan. Isu
inilah yang menyebabkan seluiruh masyarakat Jawa yang terdiri daripada
pelbagai latar belakang iaitu bangsawan, kuli, buruh, pedagang,
petanidan guru-guru agama bersatu dalam menuntut hak mereka. Seluruh
pemimpin dan rakyat jelata disatukan dibawah slogan yang berbunyi
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang bermaksud sejari kepala sejengkal tanah dibela samapi mati.
[24]
Perang ini juga dilihat sebagai perang memperjuangkan hak asasi
masyarakat peribumi Jawa yang ditindas oleh Belanda. Di samping itu
juga, Pangeran Dipornegorio menuntut agar Pateh Danureja IV dipecat
akibat tindakannya yang menindas masyarakat Jawa. Namun begitu, Residen
A. H. Smissaert membela pegawai tinggi Sultan yang setia kepada arahan
Belanda.
[25] Perkara ini akhirnya telah merintis kepada berlakunya perang Jawa antara Belanda dengan masyarakat peribumi tanah Jawa.
4.0 PERJALANAN PERANG JAWA:
Pertempuran terbuka berlangsung dengan pasukan-pasukan infantri,
kavaleri dan artileri bertindak sebagai senjata utama dalam pertempuran.
Pertempuran antara kedua-dua belah pihak iaitu masyarakat tempatan
dengan Belanda berlaku dalam suasana yang begitu sengit sekali.
Pertempuran juga melibatkan kebanyakan desa di seluruh tanah Jawa.
Peperangan berlaku dengan cara iaitu sekiranya sesuatu kawasan itu
ditakluki Belanda pada siang hari, maka pada malam hari, kawasan itu
akan dirampas kembali oleh tentera peribumi tempatan.
Serangan-serangan masyarakat tempatan kerapkali dilancarkan pada bulan-bulan yang mengandungi musim hujan.
[26]
Mereka mempercayai bahawa bekerjasama dengan alam merupakan suatu
senjata yang ampuh untuk menghadapi tentera Belanda. Apabila musim
hujan tiba, Gabenor Belanda akan menjalankan usaha-usaha gencatan
senjata dan berunding. Hal ini kerana, musim hujan menyebabkan
pergerakan tentera Belanda terbatas dan menjadi agak sukar. Keadaan
menjadi semakin sukar apabila pelbagai penyakit merbahaya seperti
malaria, disentri dan sebagainya muncul sebagi musuh yang tidak nampak
bagi tentera Belanda. Apabila waktu gencatan senjata dijalankan, maka
mata-mata pihak Belanda akan bergerak ke kampung-kampung untuk
mendapatkan maklumat tentang musuh mereka selain ingin memecah-belahkan
musuh mereka.
[27] Pada kemuncak peperangan, Belanda telah mengerahkan lebih 23 000 orang tentera untuk menghadapi tentera peribumi tempatan.
[28]
Hal ini sememangnya suatu perkara yang tidak pernah dilakukan oleh
Belanda kerana menempatkan tentera yang sebegitu banyak dalam kawasan
atau wilayah yang mempunyai keluasan yang tidaklah begitu luas. Dalam
perang ini, pelbagai taktik dan startegi perang telah diaplikasikan.
Contohnya seperti taktik perang terbuka
(open warfare), perang gerila
(geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik
“hit and run”
dan penghadangan. Dalam perang ini juga, taktik parang saraf juga
turut diaplikasikan. Oleh itu, dapat difahami bahawa dalam Perang Jawa
pelbagai taktik dan startegi perang yang mirip kepada konsep perang
moden telah digunapakai.
Pada tahun 1827, Belanda telah melakukan serangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga pasukan Diponegoro terjerat.
Pada tahun 1829, Kyai Maja yang merupakan seorang pemimpin spiritual
pemberontakan telah ditangkap. Seterusnya, Pangeran Mangkubumi dan
panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah diri kepada Belanda.
[29] Akhirnya, pada 28 Mac 1830, Jeneral De Kock berjaya menawan pasukan Diponegoro di Mangelang.
[30]
Diponegoro akhirnya bersetuju menyerah diri tetapi dengan syarat
anggota askarnya dilepaskan. Maka dengan itu, Pangeran Diponegoro
akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Manado kemudian ke Makasar serta
seterusnya meninggal dunia di Rotterdam pada 8 Januari 1855.
a. Latar Belakang Perlawanan
Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan
Hamengku Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya
di istana maka Diponegoro lebih senang tinggal di rumah buyutnya di desa
Tegalrejo.
Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut: |
1. |
Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut: |
2. |
Adat kebiasaan keraton tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan. |
3. |
Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama
serta golongan bangsawan. Misalnya pesta dansa sampai larut malam,
minum-minuman keras. |
4. |
Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823
Belanda menghentikan sistem hak sewa tanah para bangsawan oleh
pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan uang
sewa yang telah diterimanya. |
5. |
Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah, pajak ternak. |
Selain hal-hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut
kemarahan Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta
api yang melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah
Patih Darunejo IV tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut
menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.
Pejuang Berhanti Bersih
Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa
kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang
pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan
guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari
penjajahan Belanda.
Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda
dengan cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau
tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang,
tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada
dirinya sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,
kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang
tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang
lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini
menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya
menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah
permaisuri.
Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti
sangat disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu
merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak
tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang
bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya.
Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran
ayahnya tersebut.
Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa
yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika
memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di
Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima
ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan
kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh
Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja
Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan
kepahlawanan beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu
menggunakan politik ‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun,
Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di adu
domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling
mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda
untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.
Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak
senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di
Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya
menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda
melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro
pun telah dimulai.
Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa
mundur, dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong.
Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering
berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak
Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat
pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda. Namun setelah
Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang
sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa
lagi sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu
membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar menghentikan
perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun
semakin berkurang. Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan
dari pasukan Diponegoro, dengan berbagai cara terus berupaya untuk
menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000
Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya
semakin melemah.
Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah
berhasil, maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro
diundang ke Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun
kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman.
Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang
diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut
rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini. Dalam
perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan
dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam,
Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal.
Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa
yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
Jalannya perang
Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan
infantri,
kavaleri dan
artileri —yang sejak
perang Napoleon
menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan
kota dan
desa
di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga
bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi;
begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur
Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang
mesiu dibangun di
hutan-hutan
dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras
mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik
dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan
penghujan;
para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai
“senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena
hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit
malaria,
disentri,
dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan
kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan
mata-mata dan
provokator
mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat
yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi
tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu
wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian
Jawa timur
dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah
perang modern. Baik metode perang terbuka (
open warfare), maupun metoda perang gerilya (
geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik
hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah
tribal war
atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai
siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (
psy-war) melalui
insinuasi
dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka
yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (
spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun
1827,
Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya
Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal
28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di
sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar
hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal
8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan
Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000
pribumi,
dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk
Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton
Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya
tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB
IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah
bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Perang Diponegoro dan Perang Padri
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi
Perang Padri di
Sumatera Barat.
Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim
ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama
Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi,
maternalisme dan
paternalisme.
Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada
akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang
belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I
antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan
yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran
Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata
disepakati pada tahun
1825,
dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa.
Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian
gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua.
Pada tahun
1837 pemimpin Perang Paderi,
Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri.